Contact Form

 

Tuesday 8 January 2008

WE LOSE IT, GUYS!

WE LOSE IT, GUYS!
“Gawat, bo!” Emon panik. Seisi makhluk ruangan ukurun 3x4 dimana aku dan kawan-kawanku biasa diami ketika pulang sekolah ikutan panik.
“Gawat apaan si, Mon?” tanya Sandra.
“Edisi majalah buat bulan depan yang kita rancang kemarin direbut sama anak-anak Rajawali, Bo!” lanjutnya sambil mengipas-kipasi dirinya dengan sapu tangan warna merah jambu.

“Maksud loe rancangan yang udah keren banget kita buat waktu itu?” Ipul tak percaya.
Emon terlihat lemas. Kepalanya mengangguk menjawab pertanyaan Ipul. Tubuhnya yang agak gembul percis pemeran Emon di catatan Si Boy terkulai lemas di sebuah bangku.
“Iya, Bo! Gue dikasih tau sama Vera, temen gue yang sekolah disana. Gue iseng tanya-tanya tentang edisi majalah buat lomba besok, eh taunya sama percis, bro…”
Ipul dan Dian jadi ikutan lemas. Mereka terlihat yang paling kesal diantara kami. Terang saja, mereka berdua-lah yang paling lelah mengumpulkan bahan-bahan untuk edisi majalah bulan depan sekaligus edisi yang akan diikutkan dalam kompetesi majalah fashion tingkat SMU enam bulan lagi.
“Terus gimana, dunks?” pecah Bebi.
“Gimana mananya?” sambar Leli, bijak. “Ya kita cari lagi edisi yang baru.”
“Cari lagi? Males, deh…” balas Ipul, ketus. “Sudah ketiga kalinya tema edisi kita kecolongan sama mereka. Aneh, kan?”
“Ya namanya ide bisa aja-lah samaan, Pul…” ujar Leli menenangkan.
“Setuju! Tapi ide yang muncul bersamaan dalam waktu sering, kelihat normal, tuh?” sindir Ipul, “masa iya kita bisa sama-sama pilih narasumber Garin buat isi edisi teater kita waktu itu? Trus sama-sama ngangkat masalah job satisfaction of high school student dalam waktu yang sama, bahkan ngedahuluin kita ngeluarin edisi Teach and Cheat, tema edisi yang selama dua bulan sebelum terbit sudah disiapin, sebulan yang lalu.”
Semua hening.
Aku membereskan kertas-kertas artikel bertema BREAK FASHION, tema edisi kami yang barusan kecolongan oleh SMU saingan kami, SMU Rajawali.
“Buang aja, Ri!” ujar Ipul kepadaku, sinis.
“Jangan! Simpen aja. Siapa tahu nanti kita perlu,” cegah Leli.
Aku merapihkan artikel-artikel tersebut dan menaruhnya di file-file kami.
Betewe, guys, kok bisa ya kita kecolongan mulu. Padahal, kita kan udah buat komitmen untuk enggak ngasih tahu edisi kita sama temen-temen sekolah sekalipun,” pikir Sandra.
Mataku melirik kearah Sandra. Seolah mencari tahu maksud dari kata-katanya. Begitu pun dengan yang lain, setelah mendengar kata-kata Sandra, mereka berpandangan seolah saling mencurigai.
“Gue gak pernah bocorin apa-apa, kok…” Tiba-tiba Emon mengangkat bicara, nadanya terdengar panik.
“Lagian siapa yang nuduh loe sih, Mon?” tenang Leli.
“Ya… lagian ngapain sih saling liat-liatan, kan jadi takut…” ujar Emon dengan nada manjanya.
“Ya, udahlah! Besok kita ngumpul lagi. Gue mau pulang! Gerah disini!” ujar Ipul.
Ipul keluar ruangan diikuti oleh Sandra, Dian, dan Bebi.
Di ruangan itu tinggal aku, Leli dan Emon.
“Mon, emangnya Vera bilang apa sama kamu?” tanya Leli lembut.
“Gue sama Vera emang temen deket waktu SMP. Kita sama-sama anak mading. Cuman pas SMU jadi beda tempat lantaran SMU Rajawali jauh dari rumah,” papar Emon, menyimpang dari pertanyaan, “tapi suer gue gak pernah ngomongin edisi kita, malahan, dia yang cerita edisi mereka mulu lantaran dia percaya sama gue. Makanya gue rada gak enak kalo harus sok sembunyi-sembunyi. Tapi gue tetep pegang komitmen untuk gak cerita dan Vera ngerti, kok.”
Leli tersenyum.
“Loe percaya gue, kan?” rengek Emon, “Habis, kayanya Sandra sama Ipul curiga sama gue karena gue deket sama Vera, deh.”
“Emon…” Leli menggelengkan kepalanya. Tangannya menepuk pundak Emon, berusaha menenangkan si pria yang agak girlish tersebut. “Gue kan tanya Vera ngomongnya gimana, bukan tanya kok Vera bisa tahu…”
Emon menunduk. Bibirnya mencibir.
“Gue percaya sama semuanya,” kata Lely, “pasti semua itu cuman kebetulan.”
Keesokan harinya Ipul, Dian dan Bebi tidak datang. Keesokannya lagi ketika mereka bertiga datang justru Leli dan Emon yang tidak hadir karena ada praktik Biologi di luar kelas. Lusa kemudian, Bebi tak hadir, Ipul ada acara, dan akhirnya setelah seminggu barulah kami dapat berkumpul lagi.
“Gue ada ide baru!” ujar Sandra. “Gimana kalo kali ini kita tetep pake edisi BREAK FASHION tapi kita embel-embelin dengan kata Inner Accessories…”
“Jelasnya?” nada Ipul terdengar seperti tak tertarik.
“Biasanya fashion itu didominasi oleh model-model cantik, kulit putih, mulus, tinggi, langsing, almost physically perfect! Gimana kalo kita tetep menggunakan sebagai tema, ya, walaupun kita perlu sedikit ekstra tenaga untuk mengumpulkan model-model baju lantaran kita akan pake model-model dengan bentuk tubuh yang berbeda-beda…”
“Gue ngerti!” sambar Dian, wajahnya ceria seperti ada lampu neon yang menyinarinya, “kita bisa pake si Ndut Mela, si kurus Bebi, si imut Gita, dan semua jenis ukuran tubuh, wajah, juga warna kulit, kan?”
“Bener! Selama ini majalah cumin ngasih teori aja kalo si bulat cocoknya pake ini, kalo si hitam cocoknya pake ini. Tapi, pas dipraktekin tetep aja mereka pake model-model yang Sandra bilang almost physically perfect, kan?” sambar Bebi.
“Nah… gimana kalo kali ini kita pake temen-temen kita yang punya penampilan sederhana dan apa adanya buat mejeng di majalah yang bakal kita ikutin lomba itu.” Usul Sandra.
Semua mengangguk kecuali Ipul.
“Kenapa, Pul?” tanya Bebi, “punya ide lain?”
Ipul menggeleng, “gak, kok! Bagus banget ide kalian.”
“Trus?” goda Emon
Ipul menggeleng seolah menutupi sesuatu. “Ya udah! Sekarang kita bagi tugas. Seperti biasa artikel Riri yang cari, soal gambar, desain dan model Emon, Dian dan Sandra, Lay out gue sama Bebi, trus, urusan dana dan print kita kasih ke ahlinya, Leli.”
Leli sibuk mencatat semua perintah Ipul, yang notabenya sebagai koordinator pelaksana di media kami.
“Majalah tersebut harus selesai dalam bulan ini, so, gue harap, buat artikel, model, dan desain, udah ngumpul dua minggu ke depan.” Komando Ipul kearah kami.
Kami berempat mengangguk mengerti.
“Kita gak usah ngumpul sampai dua minggu ke depan,” tutup Ipul, “deal?”
“Deal!” balas kami serempak.
Kali ini aku sedang menunggu seorang pria yang baru saja dekat denganku belakangan ini. Namanya Irfat. Dia teman les bahasa inggrisku, dan kami sudah setengah tahun menjadi teman dekat. Kami berdua sering sekali saling sharing tentang masalah-masalah kami.
“Hai, Ri!” sapanya.
“Hai! Kok lama banget sih, Fat!” tanyaku.
“Sorry! Ada rapat OSIS di sekolah gue,” jawabnya memberi alasan, “makan siang dulu yuk sebelum masuk! Gue laper!”
Kami berdua makan siang di kantin tempat les kami.
“Gimana soal temen-temen majalah loe?” tanya Irfat, “udah ketahuan siapa yang ngebocorin edisi majalah loe ke sekolah saingan loe itu?”
Aku menggeleng.
“trus loe masih curiga sama Emon?” tanyanya lagi.
Aku merasa risi jika ditanya seperti ini. Tapi, memang aku sempat curiga dengan kepolosan Emon. Kalo kupikir, sebenarnya Emon mungkin aja enggak sengaja cerita ke Vira, dan mungkin aja dia tahu kalo Vira yang ambil tema itu, tapi untuk menutupi imej Vira di depan kawan-kawannya, kupikir Emon berusaha bohong. Tapi aku yakin kok dia pasti gak sengaja keceplosan.
“Woi!” kaget Irfat, ‘kok bengong?”
“Ah enggak, kok!” responku, “udah lah lupain aja, lagian kita udah nemuin ide baru, kok.”
Dua minggu telah selesai. Kami berkumpul kembali di camp kami. Artikel yang kukumpulkan sudah lengkap dan dianggap keren sama anak-anak yang lain. Foto-foto, yang modelnya adalah adik-adik kelas kami dibalut desain pakain yang Sandra cari, semuanya kelihatan cool dan sederhana.
“Keren juga si Ndut Mela! Cocok banget sama bajunya, kelihatan langsing 10 kilo!” komentar Bebi disambut tawa Emon dan Ipul. “Dih, ketawa lagi loe pada! Serius!”
“Eh ini si Mila anak 1.2, kan?” tanya Bebi, dengan nada kagum “Gila! Cantik banget kalo di make-up… perasaan aslinya biasa aja.”
“Dasar playboy cap kerupuk kaleng!” ejek Dian.
“Duh… ada yang cemburu, nih…” goda Emon.
“Huuuuu….”
Semua ramai. Semua senang. Semua ceria kembali. Seolah semua lupa dengan kejadian-kejadian pahit kemarin. Hingga waktu batas penyerahan akhir majalah untuk lomba majalah fashion tingkat SMU telah sampai. Kami bertujuh yang menyerahkannya langsung ke tempat panitia.
Leli dan Ipul masuk ke ruang panitia untuk mengisi formulir dan menyerahkan majalah kami. Sedangkan kami berlima duduk-duduk di bangku halaman sambil bersenda gurau.
“Guys…!” tiba-tiba suara Ipul lemas.
Mata kami tertuju pada tangan Ipul yang masih menggenggam majalah kami.
“Lho? Loe belum kasihin ke panitianya?”
Ipul diam.
“Batas waktunya di perpendek sampai kemarin, ya?” tebak Dian.
Ipul diam.
Semua terdiam menunggu jawaban Ipul.
“Majalah SMU Rajawali punya tema, judul, dan isi yang sama percis sama kita!” pelan Lely, “Dan mereka sudah mengumpulkannya satu hari lebih awal dari kita. Sehingga punya kita-lah yang ditolak.”
Semua lemas.
“Nih! Contoh majalahnya anak-anak brengsek itu!” Ipul melempar sebuah contoh desain majalah yang covernya berjudul sama percis dengan kami.
Bergantian kami melihatnya. Dan jantungku hampir berhenti berdetak ketika mataku membaca nama ketua majalah SMU Rajawali yang tak asing di telingaku.
Ketua Redaksi: Irfat Sugarja
Seluruh tubuhku melemas. Sekelilingku tiba-tiba saja berubah menjadi sekumpulan baying-bayang di mataku.
“Riri…!!” Aku mendengar suara Emon di telingaku sebelum semuanya terlihat gelap.
created by "Meisa Pastel" Afifah Muharikah.

0   comments

Post a Comment

Cancel Reply